Sebagai pengada historis-sosial, manusia
mestilah communicative creatures.
Sebagai sejarah kemanusiaan dan masyarakat dengan perjalananya yang panjang
dari zaman batu hingga zaman komunikasi internet sekarang ini, tercipta oleh
karena manusia adalah pengada komunikatif (freire, 1970:13-14). Penindasan kata
lainnya adalah tiadanya komunikasi antara si penindas dan si tertindas.
Penindas adalah masalalh untuk komunikasi, tanpa komunikasi manusia direduksi
menjadi berstatuskan benda-benda” (Freire, 1974:17)
Sebagai makhluk komunikatif, manusia
menjadi manusia jika ia berada bersama orang lain dan bersama dunia, ini
arrtinya manusia ada jika ada hubungan antarmanusia yang setara, hubungan
subjek-subjek, bukan subjek-objek seperti dalam struktur penindasan. Freire
menyatakan , bahwa akub suka berada sebagai seseorang tepatnya karena tanggung
jawab etis dan politisku dihadapan orang-orang lain dan dunia. Aku tidak dapat
berada jika orang lain tidak berada; terutama, aku tidak dapat berada jika aku
tidak menghendaki keberadaan orang lain. Aku manusia, bukan seekor hewan. Aku
membangun diriku dengan orang-orang lain, dan denngan orang-orang lain aku
berbuat banyak hal. Aku membantu dan dibantu. Pahamnya yang demikian ini menyebabkannya
memilih sikap solider ketimbang soliter. Bahkan terdapat kecenderungan ia
menolak ide individualisme yang mendasari persaingan bebas atau pasar bebas.
Tetapi ini pun tidak dapat ditafsirkan ia menolak sama sekali sikap-sikap
individual atau soliter. Terdapat kesendririan yang psitif dan yang negatif.
Isolasi diri yang negatif ditemukan pada meereka yang takut atau yang secara
metodis berupaya mencari rasa aman nyaman ketika berada sendirian. Isolasi negatif
dikaterisasi oleh egoisme yang menuntut segala hal mengelilinginya dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Bentuk kesendirian ini sering dituntut oleh mereka yang
hanya memperhatikan diri mereka sendiri sekalipun mereka dikelilingi oleh bebagai
orang, orang-orang ini hanya dapat memperhatikan diri sendiri, kelompok sendiri
karena dikarakterisasi oleh perasaan bahwa semakin banyak yang mereka miliki,
semakin ingin mereka untuk memiliki dan ini tidak ada hubungannya dengan cara
yang mereka gunakan untuk memenuhi keinginan tersebut.
Isolasi diri yang positif, misalnya
dilakukan dalam meditasi guru mencari solusi yang lebih baik atas masalah
kehidupan yang dijumpai, bukan sekedar bmencari rasa aman nyaman dalam
kesendirian yang egoistis. Meditasi bukan menghindari realitas dengan sikap
egoistis.
Manusia
sebagai subjek praksis (Freire, 1970:125 ; Horton and
Paulo 1990:20). Komunikasi mengandaikan tiap orang adalah subjek, bukan objek.
Freire memberi makna baru bagi konsep subjek ini yang membedakannya dari para
filsuf modernisme dari zaman lalu, misalnya Descartes (cagito ergo sum). Freire menolak pendekatan idelaistik atas konsep
subjek ini pendekatan idealistik mengakui bahwa hanya dengan merefleksi
relaitas penindasan dan menemukan status mereka sebagai benda-benda, maka
orang-orang ini sudah menjadi subjek. Tetapi berfikir saja tidak cukup untuk
membuat orang orang menjadi subjek. Untuk menjadi subjek orang harus juga
berbuat, berjuang. Hanya berpikir akan menjadikan orang sebagai subjek in
ekspektansi.
Subjek yang hanya berfikir adalah ilusi
subjek. Demikian juga halnya subjek yang diasumsikan hanya menerima warisan
budaya, yang hanya mengcopy, realitas
adalah ilusi subjek. Karena itu “subjek” adalah menjadi subjek melalui praksis,
reaksi dan aksi. Refleksi tanpa aksi adalah ilusi subjek aksi tanpa refleksi adalah
ilusi aksi, atau objek. hakikat praksis pada manusia ini merupakan salah satu konsep
sentral dalam pedagogik Freire.
Hakikat praksis manusia mengimplikasikannya
sebagai pengada transformative, dan ini mengimplikasikan manusia sebagai
pengada yang tidak selesai, pengada yang tidak sempurna dalam dan dengan
realitas yang juga tidak selesai. Memang bertentangan dengan hewan lainnya yang
tidak selesai tetapi tidak historis, manusia mengetahui diri sendiri yang tidak
selesai mereka menyadari ketidaksempurnaannya.
Hanya pengada-pengada manusia, yakni
pengada yang bekerja yang memiliki pemikiran bahasa, yang bertindak dan yang mampu
merefleksi diri sendiri (tindakan-tindakan sendiri tindakan yang demikian
menjadi entitas yang terpisah). Hanya mereka yang merupakan pengada praksis
mereka adalah praksis Hanya mereka yang adalah menghadap pengada dengan
relasi-relasi dalam dunia relasi-relasi. Kehadiran mereka di dunia ini, sebuah
kehadiran yang merupakan a being with
, membentuk konfrontasi permanen penghadap manusia dan dunia. Dengan melepaskan
diri sendiri dari lingkungan, mereka mentransformasi lingkungan. Mereka tidak
hanya beradaptasi dengannya. Manusia adalah pengada-pengada konsekuensi dari
putusan-putusan. Pelepasan diri dari lingkungannya hanya dapat dicapai dalam
relasi dengan lingkungan tersebut. Pengada - pengada manusia adalah manusia
karena mereka bereksistensi dalam dan dengan dunia. Eksistensi ini
mengimplikasikan sebuah relasi permanen dengan dunia juga tindakan terhadap
dunia. Dunia ini, karena ia dunia sejarah dan budaya, adalah dunia manusia
tidak hanya sebuah dunia alam.
Sumber
: Kesuma, Dharma dan Teguh Ibrahim. 2016. Struktur Fundamental Pedagogik.
Bandung : Pt Refika Aditama.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar