Rabu, 14 Desember 2016

MANUSIA ADALAH MAKHLUK KOMUNIKATIF


Sebagai pengada historis-sosial, manusia mestilah communicative creatures. Sebagai sejarah kemanusiaan dan masyarakat dengan perjalananya yang panjang dari zaman batu hingga zaman komunikasi internet sekarang ini, tercipta oleh karena manusia adalah pengada komunikatif (freire, 1970:13-14). Penindasan kata lainnya adalah tiadanya komunikasi antara si penindas dan si tertindas. Penindas adalah masalalh untuk komunikasi, tanpa komunikasi manusia direduksi menjadi berstatuskan benda-benda” (Freire, 1974:17)

Sebagai makhluk komunikatif, manusia menjadi manusia jika ia berada bersama orang lain dan bersama dunia, ini arrtinya manusia ada jika ada hubungan antarmanusia yang setara, hubungan subjek-subjek, bukan subjek-objek seperti dalam struktur penindasan. Freire menyatakan , bahwa akub suka berada sebagai seseorang tepatnya karena tanggung jawab etis dan politisku dihadapan orang-orang lain dan dunia. Aku tidak dapat berada jika orang lain tidak berada; terutama, aku tidak dapat berada jika aku tidak menghendaki keberadaan orang lain. Aku manusia, bukan seekor hewan. Aku membangun diriku dengan orang-orang lain, dan denngan orang-orang lain aku berbuat banyak hal. Aku membantu dan dibantu. Pahamnya yang demikian ini menyebabkannya memilih sikap solider ketimbang soliter. Bahkan terdapat kecenderungan ia menolak ide individualisme yang mendasari persaingan bebas atau pasar bebas. Tetapi ini pun tidak dapat ditafsirkan ia menolak sama sekali sikap-sikap individual atau soliter. Terdapat kesendririan yang psitif dan yang negatif. Isolasi diri yang negatif ditemukan pada meereka yang takut atau yang secara metodis berupaya mencari rasa aman nyaman ketika berada sendirian. Isolasi negatif dikaterisasi oleh egoisme yang menuntut segala hal mengelilinginya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Bentuk kesendirian ini sering dituntut oleh mereka yang hanya memperhatikan diri mereka sendiri sekalipun mereka dikelilingi oleh bebagai orang, orang-orang ini hanya dapat memperhatikan diri sendiri, kelompok sendiri karena dikarakterisasi oleh perasaan bahwa semakin banyak yang mereka miliki, semakin ingin mereka untuk memiliki dan ini tidak ada hubungannya dengan cara yang mereka gunakan untuk memenuhi keinginan tersebut.

Isolasi diri yang positif, misalnya dilakukan dalam meditasi guru mencari solusi yang lebih baik atas masalah kehidupan yang dijumpai, bukan sekedar bmencari rasa aman nyaman dalam kesendirian yang egoistis. Meditasi bukan menghindari realitas dengan sikap egoistis.

Manusia sebagai subjek praksis (Freire, 1970:125 ; Horton and Paulo 1990:20). Komunikasi mengandaikan tiap orang adalah subjek, bukan objek. Freire memberi makna baru bagi konsep subjek ini yang membedakannya dari para filsuf modernisme dari zaman lalu, misalnya Descartes (cagito ergo sum). Freire menolak pendekatan idelaistik atas konsep subjek ini pendekatan idealistik mengakui bahwa hanya dengan merefleksi relaitas penindasan dan menemukan status mereka sebagai benda-benda, maka orang-orang ini sudah menjadi subjek. Tetapi berfikir saja tidak cukup untuk membuat orang orang menjadi subjek. Untuk menjadi subjek orang harus juga berbuat, berjuang. Hanya berpikir akan menjadikan orang sebagai subjek in ekspektansi.

Subjek yang hanya berfikir adalah ilusi subjek. Demikian juga halnya subjek yang diasumsikan hanya menerima warisan budaya, yang hanya mengcopy, realitas adalah ilusi subjek. Karena itu “subjek” adalah menjadi subjek melalui praksis, reaksi dan aksi. Refleksi tanpa aksi adalah ilusi subjek aksi tanpa refleksi adalah ilusi aksi, atau objek. hakikat praksis pada manusia ini merupakan salah satu konsep sentral dalam pedagogik Freire.

Hakikat praksis manusia mengimplikasikannya sebagai pengada transformative, dan ini mengimplikasikan manusia sebagai pengada yang tidak selesai, pengada yang tidak sempurna dalam dan dengan realitas yang juga tidak selesai. Memang bertentangan dengan hewan lainnya yang tidak selesai tetapi tidak historis, manusia mengetahui diri sendiri yang tidak selesai mereka menyadari ketidaksempurnaannya.

Hanya pengada-pengada manusia, yakni pengada yang bekerja yang memiliki pemikiran bahasa, yang bertindak dan yang mampu merefleksi diri sendiri (tindakan-tindakan sendiri tindakan yang demikian menjadi entitas yang terpisah). Hanya mereka yang merupakan pengada praksis mereka adalah praksis Hanya mereka yang adalah menghadap pengada dengan relasi-relasi dalam dunia relasi-relasi. Kehadiran mereka di dunia ini, sebuah kehadiran yang merupakan a being with , membentuk konfrontasi permanen penghadap manusia dan dunia. Dengan melepaskan diri sendiri dari lingkungan, mereka mentransformasi lingkungan. Mereka tidak hanya beradaptasi dengannya. Manusia adalah pengada-pengada konsekuensi dari putusan-putusan. Pelepasan diri dari lingkungannya hanya dapat dicapai dalam relasi dengan lingkungan tersebut. Pengada - pengada manusia adalah manusia karena mereka bereksistensi dalam dan dengan dunia. Eksistensi ini mengimplikasikan sebuah relasi permanen dengan dunia juga tindakan terhadap dunia. Dunia ini, karena ia dunia sejarah dan budaya, adalah dunia manusia tidak hanya sebuah dunia alam.



Sumber : Kesuma, Dharma dan Teguh Ibrahim. 2016. Struktur Fundamental Pedagogik. Bandung : Pt Refika Aditama.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar