Pemikiran
Kritisisme Immanuel Kant Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat
yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas
rasio. Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan
Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah
sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur
dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah
penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah
dogma.
Filsafat
ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai
sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan
corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara
mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang
teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant :
1.
Apakah yang dapat kita ketahui?
Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada
kekuatan mental, akal pikiran, hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang
mana jika manusia bisa membangkitkan kinerja semua unsur tubuh mereka, maka
mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.Dalam istilah spiritual lebih
dikenal sebagai ilmu ghaib (yang kekuatannya bisa dari unsur luar yakni jin
atau qorin/sedulur papat) dan istilah bagi mereka yang berkecimpung di dunia
pencak silat dan olah pernafasan, metafisik disebut sebagai tenaga dalam, yakni
sebuah inti energi yang terletak pada kekuatan nafas dan pikiran (visualisasi).
Menurut
Immanuel Kant metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas
rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi hendak menyibak dan mengupas
prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendak pertama-tama
meneyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Disiplin metafisika selama ini
yang mengandalkan adanya korespondensi pikiran dan realitas hingga menafikkan
keterbatasan realitas manusia pada akhirnya direvolusi total oleh Kant.
Dalam diri
manusia ada fakultas yang berperan dalam menghasilkan pengetahuan yaitu
sensibilitas yang berperan dalam menerima berbagai kesan inderawi yang tertata
dalam ruang dan waktu yang memiliki kategori yang mengatur dan menyatukan kesan
inderawi menjadi pengetahuan. Metafisika berusaha membuktikan bahwa Allah
adalah penyebab pertama alam semesta. Tapi dengan itu metafisika melewati
batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Allah dan
immoralitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa
berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia saja. Dan dengan panjang lebar
Kant memperlihatkan bahwa bukti-bukti untuk adanya Allah yang diberikan dalam
filsafat pra-kritis semuanya bersifat kontradiktoris (Bertens, 1976: 60).
2.
Apakah yang boleh kita lakukan?
Etika
(Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan
dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari
hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau
moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang
membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami
oleh pikiran manusia
Menurut
Immanuel Kant Etika diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang
tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak
baik maka orang itu baik, penilaian bahwa seseorang itu baik sama sekali tidak
tergantung pada hal-hal yang diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya
sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang
adalah bahwa ia mau menjalankan kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan
adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hokum batin yang kita taati,
tindakan itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban
menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli
apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak,
pokoknya wajib menaatinya.
3. Sampai di manakah pengharapan kita?
Harapan
berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi, sehingga
harapan dapat diartikan sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Yang dapat
disimpulkan harapan itu menyangkut permasalahan masa depan.
Setiap
manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati
dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya
berupa pesan – pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada
pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan masing – masing.
Menurut
Immanuel Kant Agama di dalam batas-batas
rasio melulu. Dari tulisan Kant yang lain masih harus disebut Agama di dalam batas-batas rasio melulu.
Walaupun Kant seorang saleh, agama-agama tradisional bagi dia tidak begitu
penting. Kant mengatakan, kemuliaan Allah berbicara terutama melalui dua hal, yaitu
“langit yang berbintang di atasku, dan undang-undang moral dalam diriku”. Agama
yang berdasarkan pengetahuan itu menurut Kant sama sekali tidak mungkin. Agama
itu hanya berdasarkan tindakan. Agama datang sesudah etika, sebagai hasil dari
tindakan dan pikiran etis. Dari tindakan etis timbul beberapa
pertimbangan yang merupakan titik pangkal agama. Kata Kant, macam-macam agama
yang berbeda telah tumbuh sebagai cara-cara untuk mewarnai agama yang
sungguh-sungguh dengan macam-macam anggapan. Kalau agama-agama dibersihkan dari
semua anggapan ini, agama moral akan muncul lagi. Untuk itu dibutuhkan
penyelidikan kritis terhadap agama (Hamersma, 1983:33).
4. Apakah manusia itu ?
Manusia
adalah ciptaan Allah yang paling besar. Untuk itu, terlebih dahulu ia harus
mengenal-Nya. Jika manusia itu sudah mengenal jiwanya pasti ia akan mengenal
Tuhannya. Jika tidak, ia tidak akan pernah mengenal Tuhannya. Pernyataan ini
identik dengan bunyi suatu kata hikmat sebagai berikut :“Barangsiapa sudah
mengenal jiwanya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Manusia
adalah sebagai tanda, bukti konkrit dan persaksian besar dari keagungan Allah
dan juga merupakan suatu bukti yang luar biasa. Manusia diberi akal pikiran dan
peralatan yang lengkap dan sempurna oleh Allah, karenanya ia harus boleh
menganalisa jiwanya. Dia menciptakan manusia dalam bentuk yang paling indah,
dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Menurut
Imamuel Kant mengatakan bahwa hanya manusia-lah tujuan pada dirinya, dan bukan
semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam
segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun
kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Kant,
manusia-lah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur
data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika
dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas.