Selasa, 10 Januari 2017

Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar pada Pemikiran Immanuel Kant !



Pemikiran Kritisisme Immanuel Kant Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma.
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant :

1.  Apakah yang dapat kita ketahui?

Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran, hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia bisa membangkitkan kinerja semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.Dalam istilah spiritual lebih dikenal sebagai ilmu ghaib (yang kekuatannya bisa dari unsur luar yakni jin atau qorin/sedulur papat) dan istilah bagi mereka yang berkecimpung di dunia pencak silat dan olah pernafasan, metafisik disebut sebagai tenaga dalam, yakni sebuah inti energi yang terletak pada kekuatan nafas dan pikiran (visualisasi).
Menurut Immanuel Kant metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. Metafisika tidak lagi hendak menyibak dan mengupas prinsip mendasar segala yang ada tetapi metafisika hendak pertama-tama meneyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Disiplin metafisika selama ini yang mengandalkan adanya korespondensi pikiran dan realitas hingga menafikkan keterbatasan realitas manusia  pada akhirnya direvolusi total oleh Kant.
Dalam diri manusia ada fakultas yang berperan dalam menghasilkan  pengetahuan yaitu sensibilitas yang berperan dalam menerima berbagai kesan inderawi yang tertata dalam ruang dan waktu yang memiliki kategori yang mengatur dan menyatukan kesan inderawi menjadi pengetahuan. Metafisika berusaha membuktikan bahwa Allah adalah penyebab pertama alam semesta. Tapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk  pengenalan manusia. Adanya Allah dan immoralitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia saja. Dan dengan panjang lebar Kant memperlihatkan bahwa bukti-bukti untuk adanya Allah yang diberikan dalam filsafat pra-kritis semuanya bersifat kontradiktoris (Bertens, 1976: 60).


2.    Apakah yang boleh kita lakukan?
Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia
Menurut Immanuel Kant Etika diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa seseorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal yang diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hokum batin yang kita taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya wajib menaatinya.

3.    Sampai di manakah pengharapan kita?

Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi, sehingga harapan dapat diartikan sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Yang dapat disimpulkan harapan itu menyangkut permasalahan masa depan.
Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan – pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan masing – masing.

Menurut Immanuel Kant Agama di dalam batas-batas rasio melulu. Dari tulisan Kant yang lain masih harus disebut  Agama di dalam batas-batas rasio melulu. Walaupun Kant seorang saleh, agama-agama tradisional bagi dia tidak begitu penting. Kant mengatakan, kemuliaan Allah berbicara terutama melalui dua hal, yaitu “langit yang berbintang di atasku, dan undang-undang moral dalam diriku”. Agama yang berdasarkan pengetahuan itu menurut Kant sama sekali tidak mungkin. Agama itu hanya berdasarkan tindakan. Agama datang sesudah etika, sebagai hasil dari tindakan dan pikiran etis. Dari tindakan etis timbul  beberapa pertimbangan yang merupakan titik pangkal agama. Kata Kant, macam-macam agama yang berbeda telah tumbuh sebagai cara-cara untuk mewarnai agama yang sungguh-sungguh dengan macam-macam anggapan. Kalau agama-agama dibersihkan dari semua anggapan ini, agama moral akan muncul lagi. Untuk itu dibutuhkan penyelidikan kritis terhadap agama (Hamersma, 1983:33).

4.    Apakah manusia itu ?

Manusia adalah ciptaan Allah yang paling besar. Untuk itu, terlebih dahulu ia harus mengenal-Nya. Jika manusia itu sudah mengenal jiwanya pasti ia akan mengenal Tuhannya. Jika tidak, ia tidak akan pernah mengenal Tuhannya. Pernyataan ini identik dengan bunyi suatu kata hikmat sebagai berikut :“Barangsiapa sudah mengenal jiwanya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Manusia adalah sebagai tanda, bukti konkrit dan persaksian besar dari keagungan Allah dan juga merupakan suatu bukti yang luar biasa. Manusia diberi akal pikiran dan peralatan yang lengkap dan sempurna oleh Allah, karenanya ia harus boleh menganalisa jiwanya. Dia menciptakan manusia dalam bentuk yang paling indah, dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Menurut Imamuel Kant mengatakan bahwa hanya manusia-lah tujuan pada dirinya, dan bukan semata-mata alat atau sarana yang boleh diperlakukan sewenang-wenang. Di dalam segala tindakan manusia baik yang ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain, manusia harus dipandang serentak sebagai tujuan. Bagi Kant, manusia-lah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data kasar pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas.